Aceh Sepanjang Abad Jilid 2 bagian 2 Jenderal Van Swieten Mendarat Beserta Kolera

Aceh Sepanjang Abad Jilid 2 bagian 2

Jenderal Van Swieten Mendarat Beserta Kolera

Sebagai telah di ceritakan, daiƤfti bulan Mei 1873 gubernur jendral Loudon sudah mengeluarkan beslit memberi tugas kepada jendral mayor Verspijck memimpin tentera pendaratan ke 2 ke Aceh.Tugas ini di cabut kembali oleh Loudon, sehingga akibatnya mengecilkan hati Verspijck. Walaupun demikian dia terpaksa mematuhi perintah dan disiplin, ketika dia menjadi komandan ke 2 pendaratan ke 2, di bawah van Swieten dia telah berbuat sebisanya untuk memenuhi tugasnya. Salah satu alasan yang di tonjolkan untuk perobahan ini oleh Loudon ialah bahwa dalam penyerangan ke 2 pun Belanda memerlukan wakil politik, suatu komisaris pemerintah, yang tugas dan wewenangnya memberi peringatan lebih dulu sebelum penyerangan militer di mulai. Juga komisaris bisa bertindak sebagai wakil gubernur jenderal untuk membuat sesuatu proklamasi atau menerima sesuatu penyerahan, jika terjadi. Tokoh Belanda yang sudah pernah pergi dalam jabatan sebagai itu pada agresi ke 1, yaitu F.N. Nieuwenhuijzen, rupanya tidak hendak di pakai lagi, sudah di anggap tokoh gagal. Tapi hasil ke gagalannya itupun Nieuwenhuijzen masih di anugerahi jasa-jasa dan uang pensiun yang besar jumlahnya.
Sekali ini Belanda memilih jenderal van Swieten. Orang ini sudah pernah pergi ke Aceh dan berhasil membuat perjanjian dengan Sultan Ibrahim Mansur Syah pada tahun 1857. Walaupun van Swieten, sudah lanjut usianya, namun darah militerismenya masih di pandang oleh Loudon, cukup penuh. Demikianlah sekali ini fungsi, komisaris dengan panglima perang disatukan. Karena sudah berhasil mendapat persetujuan itu kepergian van Swieten tidak sampai mendapat reaksi besar lagi. Pun di perhitungkan juga oleh Belanda bahwa van Swieten sudah mengenal orang-orang besar Aceh yang masih hidup, sekalipun Mansur Syah sendiri sudah empat tahun meninggal dunia. Di antara tokoh Aceh yang berpengaruh dan masih hidup masa van Swieten datang adalah Panglima Polim Cut Banta. Tapi sebagai ternyata kemudian, panglima inilah salah seorang yang sangat gemas dalam menghadapi serangan Belanda.
Sejalan dengan persiapan yang dilakukannya, Panglima Polim mengulangi kembali perintah hariannya kepada para panglima bawahan untuk disampaikan kepada bawahan mereka pula. Isi
perintah harian adalah melanjutkan sabil terhadap kafir, tidak ada tawar menawar. Perintah harian disampaikan pada segala panglima yang memimpin pertahanan rakyat, diumumkan seluasnya, dimeunasah dan disegala kesempatan dalam pertemuan-pertemuan. Pejuang lain disebut-sebut nama Teuku N»ta, sudah mengambil alih kepala-mukim dari Teuku Ne'. Juga Imam Leungbata masa itu diketahui anti-Belanda paling keras. Ketika itu dia sudah menyediakan upah untuk menangkap Teuku Ne' yang sudah ketahuan menjadi alat Belanda, hidup atau mati. Juga untuk menangkap Nya' Muhammad, menantunya sendiri. Telah diperhitungkan juga oleh pihak Aceh bahwa Belanda akan melancarkan agresi ke 2 secara 3 kali lebih besar dari serangan ke 1.
Keputusan gubernur jenderal tanggal 6 Nopember 1873 la F6 2g, menugaskan kepada panglima perang jenderal van Swieten,didalam jabatannya sebagai panglima besar "ekspedisi" pendaratan
Belanda ke 2 ke Aceh, untuk juga menjadi komisaris pemerintah yang berkuasa penuh menyampaikan katadua saja langsung kepada sultan Aceh: mengaku kepada Belanda atau diserang/ditaklukkan. Bentuk instruksi gubernur jenderal tanggal 6 Nopember yang telah dirumuskan baginya disamping perintah pergi menyerang ke Aceh, selanjutnya adalah:
"Pada waktu Sultan Aceh telah kalah dan bertakluk maka
komisaris pemerintah dan panglima besar, sesuai dengan wewenangnya dan dengan ketentuan menantikan pengesahan gubernur jenderal, membuat suatu perjanjian dengan dia, yang dasarnya serupa dengan kontrak yang sudah diikat dengan kerajaan Siak pada tanggal 21 Pebruari 18-58". "Terutama mestilah ditujukan pada adanya jaminan lama terhadap pengaruh pemerintah tinggi Belanda; terhadap tersusunnya dengan baik dan dengan pernyataan tertulis dari yang bersangkutan sejelas mungkin tentang hubungan sultan dengan daerah takluknya; terhadap jaminan meniadakan penghisapan umumnya; terhadap hak dan kesempatan untuk kediaman dan kedudukan, dengan pengakuan membangun kubu dan tempat pegawai, yang dijaga dengan kekuatan yang cukup; dan selanjutnya terhadap menjamin terlaksananya dengan baik yang dikerjakanitu".
"Manakala setelahpun dengan kemenangan pasukan kita sultan tidak ingin sama sekali mengikat perjanjian yang dikehendaki pemerintah, hendaklah komisaris pemerintah memakzulkannya dari kedudukannya, dan sesudah memperhatikan adat istiadat mengangkat sultan lain, ataupun mengatur pengangkatan penyelenggaraan kerajaan menurut cara sebagaimana yang ditentukan
oleh pemerintah tinggi sehubungan dengan keadaannya yang dianggap perlu".
Instruksi atau surat tugas bagi van Swieten ini mengandung susunan kalimat yang terpelihara sekali, artinya van Swieten tidak diberi kelapangan lain selain dari yang hak-hak yang disebutkan di dalamnya. Dengan perkataan lain, van Swieten hanya berkuasa menjalankan yang tersurat, tidak tersirat. Yakni:
a. menyerang ke Aceh, menaklukkan sultan,
b. menyuruh menandatangani pengakuan,
c. kalau dia tidak mau, digantikan dengan orang lain atau adakanlah
penyelenggaraan pemerintah yang caranya nanti akan ditentukan menurut keadaan oleh pemerintah tinggi. Tidak diperhitungkan oleh pemberi tugas kemungkinankemungkinan lain, misalnya seandainya sultan tidak ada atau tidak ditemui, surat tugas tersebut tidak memberi hak kepada van Swieten apa yang harus dilakukannya. Sebagai terbukti kemudian, van Swieten tidak dapat meneguhkan tindakannya dengan surat tugas yang terbatas itu ketika dia tidak berhasil mendapat sultan
di Dalam.
Tanggal 16 Nopember 1873 tibalah saatnya bagi van Swieten, untuk bertolak dari Jakarta memimpin angkatan perang Belanda yang dipercayakan kepadanya, diangkut oleh sebanyak 60 (enam puluh) buah kapal, terdiri dari kapal perang, kapal pengawal, kapal sipil dan kapal partikulir yang disewa. Dalam kapal perang ini termasuk kapal-kapal perang yang sudah "bertugas" pada penyerangan Belanda yang pertama, seperti "Citadel van Antwepen", "Marnix", "Sumatera" dan sebagainya. Ditambah dengan kapal-kapal perang "Banda", "Borneo", "Banjarmasin", "Sambas" "Palembang", "Amboina", "Deli", "Semarang", "Bromo",' "Merapi", "Metalen Kruis", "Watergeus", "Bomelerwaart", "Aart van Nes", "Zeeland" dan sebagainya. Demikian juga kapal-kapal partikulir yang disewa seperti "Raya", "Graaf van Bijlandt", "Sindoro", "Baron Mackay", "Bentink" dan sebagainya.
Lain dari kapal-kapal perang dan pengangkut turut dibawa 186 sloepenflottilje (perahu perang). Sebagai ternyata kemudian perahu perang sebagai ini digunakan memperkuat tentara Belanda dari kuala Aceh.
Dengan tambahan angkatan laut ini menjadi 3 kali lipat pula kekuatan angkatan laut yang didatangkan untuk penyerangan Belanda yang ke 2 ke Aceh itu. Demikian pula halnya dengan barisan artileri, tiga kali lipat. Jumlah meriamnya sudah 206 pucuk dan mortir 22 pucuk dengan
pembagian-pembagian tekhnis tugasnya seperti bergbattery, veldbattery serta untuk vestingnya. Kekuatan angkatan darat adalah 3 (tiga) angkatan dari pada beberapa batalyon dengan pimpinannya masing-masing menurut tingkat kesatuannya, dari kolonel, letnan kolonel, mayor, kapten dan seterusnya kebawah. Kepada markas besar komando panglima perang merangkap komisaris pemerintah disediakan suatu kesatuan dengan diperbantukan, kepadanya perwira legiun Mangkunegara pangeran Ariogondosisworo, perwira Paku Alam, R.M.P. Pakungperang, Ritmeester Barisan Bangkalan, pangeran P. Adinegoro dan perwira Barisan Sumenep R.A.P. Kromo. Staf umum terdiri dari seorang kolonel dibantu seorang mayor dan beberapa bawahan perwira Belanda dan "Bumiputera". Barisan kuda (kavaleri) selengkapnya dengan 4 (empat) perwira dan 75 bawahan beserta kuda-kuda perang semberani (tangkas).

Dalam rombongan jeni yang terdiri dari pimpinan dan petugas selengkapnya, juga alat-alat untuk rel kereta api, untuk rakit besi dan rakit perahu, bangsal dan sebagainya, adalah merupakan alatalat kebutuhan perang yang ikut dibawa serta. Jumlah seluruh kekuatan adalah 389 perwira dan 7888 bawahan, 16 orang pegawai sipil, 32 orang perwira dokter, dan jika dimasukkan 3565 orang hukuman dan 243 perempuan (termasuk tanpa suami maka semuanya adalah 12.101 orang. Pegawai sipil lengkap satu formasi untuk tatausaha, belum termasuk seorang auditeur tentara dan beberapa pegawai dikepalai seorang direktur, yang diperlukan juga untuk turut serta. Turut pula tiga orang pegawai agama:
1 veldpredikter,
1 pastor,
1 guru agama (H.M. Ilyas, Semarang).
1 Barisan Palang Merah selengkapnya. Selain itu turut dibawa serta kaki-kaki tangan:
1. Sidi Tahil (yang sudah dikenal dalam agresi ke-I).
2. Kontelir Kroesen, pembantunya datuk setia Abuhasan.
3. "Utusan" Mas Sumo Widikjo.
4. Panglima Perang Setiaraja.
5. Mohamad Arsyad (no. 4 dan S pembantu Raja Burhanuddin).
Kaki tangan - kaki tangan lainnya :
a). Dari Penang turut ambil bagian : 5 penunjuk jalan, yaitu Ko Beng Swie, Pie Auw, Jose Masaang, Li Bieng Chet dan Co Gee yang tersebut belakang ini adalah yang paling lancar berbahasa Melayu (Indonesia) dan bahasa daerah Aceh.
Kemudian turut :
Si Diman, tinggal di Padang, dulunya sudah pernah tinggal di Aceh 10 tahun lamanya.
Saibu, seorang Aceh dari Trumon. Ramasamy, Keling dari Madras. Empat orang mata-mata gelap lainnya: Si Kitap, Ameran, Malela dan Said Muhammad bin Abd. Rahman Mysore. Malela, seorang kepercayaan Teuku Ne'. Yang sudah menunggu kaki tangan Belanda paling berbahaya di Aceh ialah bernama: Ali Bahanan.
Semua kaki tangan akan turun nanti untuk mendapat instruksi dari Ali Bahanan ini. Dalam agresi ini selain jenderal mayor Verspijck sebagai orang ke 2, turut tokoh-tokoh senior militer Belanda jenderal mayor

J.L.J.H. Pel, kolonel G.B.T. Wiggers van Kerchem, kolonel van

span style Daalen, letnan kolonel K. van der Heijden, letnan kolonel F. T.

Engel, letnan kolonel J.C. van Thiel, Ritmeester F.K.T. van Woeideren, komandan artileri letnan kolonel H.C. Bouwmeester, di samping banyak mayor dan kapten serta perwira bawahan yang sudah tangkas berperang. Ditilik dari jumlah seluruh kekuatan Belanda yang ada dan yang bertebaran diseluruh kepulauan Nusantara, paling sedikit sepertiga (kalau tidak dikatakan seperdua) dari seluruh kekuatan itu diterjunkan sekaligus ke Aceh.
Walaupun Bel,anda sudah mundur di agresi ke 1, tapi Belanda tidak mencabut kembali pernyataan perangnya terhadap Aceh. Sebab itu tak mengherankan jika selagi kesatuan untuk agresi ke 2 masih di Jakarta kapal-kapal perang Belanda sudah lebih dulu berangkat untuk menembaki pantai-pantai, menunjukkan keganasannya.
Tanggal 6 Nopember 1873 Belanda telah menyinggahkan kapal perangnya dan masuk kesungai Arakundo dan membakar rumahrumah rakyat yang sama sekali tidak berdosa dan tidak bertenaga, sampai musnah. Demikian pula Julok, terletak disebelah Simpang Ulim dan Simpang Ulimnya sendiri, telah dibombardeer dengan dahsyatnya, sehingga menerbitkan kerusakan hebat disitu. Kapalkapal dagang disitu diseret dan digarong se-enaknya. Lemahnya kekuatan Aceh dilautan membuat Belanda merajalela menjadi bajak laut diperairan Aceh. Posisi armada Aceh yang besar dizaman kebanggaan Iskandar Muda, telah meninggalkan kenang-kenangan yang menyadarkan kita betapa pentingnya kekuatan dilaut. Kini kekuatan di Aceh hanya untuk bertahan didarat saja, kekuatan dilaut sudah hilang, tinggal hanya kenang-kenangan belaka.
Tujuan pokok dari pembomAan membabi-buta dan pengecut seperti itu tidak lain untuk menakut-nakuti rakyat Aceh agar mereka jangan melawan Belanda bahkan juga jangan sekali-kali mencoba memberikan balatentara dari rantau wilayah ke-ibukota. Belanda mengetahui juga nampaknya dari peristiwa sejarah Aceh, seperti misalnya dizaman sultan Iskandar Muda, bahwa ketika perlu diadakan penyerangan ke Malaka atau ke Johor, maka pengerahan tenaga perang dari rantau wilayah acap merupakan bagian dari persiapan perang.
Dalam menghadapi agresi Belandapun memang sedemikian juga dilakukan. Tapi perbedaannya dengan dulu, ialah bahwa lalu lintas laut sudah terganggu oleh Belanda, sehingga tidak mungkin
mengirimkan balabantuan dari daerah-daerah jauh, jangankan dari

Langsa, Idi, Simpang Ulim, dari Meureudu dan Simalanga sendiripun sukar dilakukan. Bantuan yang dapat didatangkan melalui darat hanyalah dari Pedir (Pidie). Balabantuan ini yang berjumlah lebih 1500 orang lengkap bersenjata telah berangkat ke Aceh dalam pimpinan raja Pidie sendiri, Teuku Raja Pakeh Dalam. Menjelang akhir Nopember 1873, tibalah sudah angkatan perang Belanda yang diangkut oleh kapal-kapal seramai 60 buah itu diperairan Aceh Besar, dan menutup lalu lintas sepanjang pantai Aceh Besar bagian selatan lalu ke Kuala Lue.

NB; selanjutnya akan bersambung ke Aceh sepanjang abad jilid 2 bagian 3 (Sekitar "Senjata" Kolera)

4 comments:

  1. wwwwwaaaaaahhh,,

    mantap mantap,, saya sudah punya vidio@ bang,,
    hehe,,
    salam knl bg,, saya dari aceh juga- gayo lues

    ReplyDelete
  2. wwwwwaaaaaahh,,

    bagus bang,, tpi saya sudh punya vidio@,, hehe..

    salam knal aja bang,, saya dari ach juga Gayo Lues.

    ReplyDelete
  3. KL DEMIKIAN SOBAT TETAP PERTAHANKAN BUDAYA KITA...OH YA SAYA SEMPAT MAMPIR DI BLOG SOBAT TAPI SAYA TIDAK MENEMUKAN VIDEO YANG SOBAT KATAKAN......
    k7 :k8 :k9

    ReplyDelete
  4. Sangat Menarik Itu Bang.....
    Saya Sudah Ada Hardcopy'a...

    ReplyDelete

Kumpulan Contoh - Contoh Advertisement, Judul Skripsi, Jurnal, Karya Tulis Ilmiah, Laporan, Latar Belakang, Makalah, Naskah, Pidato, Proposal, Soal, Surat Undangan dan Wawancara.